CPNS bagi sebagian orang dianggap sebagai lahan bisnis yang menggiurkan. Buktinya Tim Indipenden Pengawas Reformasi Birokrasi yang bertugas untuk menata aparatur negara di tanah air, melansir data yang mencengangkan. Mereka menyebutkan, transaksi kotor, seperti suap dan sejenisnya, dalam urusan penerimaan CPNS baru dan mutasi aparatur di seluruh daerah mencapai Rp 30 triliun dalam setahun.
Anggota tim independen Sofian Effendi di Jakarta kemarin (20/12) menuturkan, kabar adanya suap-menyuap dalam perekrutan CPNS baru sudah bukan kabar burung lagi. “Itu sudah nyata. Ada sejumlah mantan pejabat negara sendiri yang melapor anak mereka harus setor uang jika ingin jadi CPNS,” tutur mantan rektor UGM itu. Dia menambahkan, praktek ini sebagian besar terjadi di daerah. Di instansi pusat tidak terlalu mencolok, karena dekat dengan pengawasan negara.
Effendi menuturkan, ada dua titik utama yang bisa dijadikan praktek mengeruk pundi-pundi uang. Selain pada urusan rekrutmen CPNS baru, dia mengatakan transaksi kotor juga terjadi ketika ada PNS akan menduduki pos-pos penting. Seperti lurah, camat, hingga kepala dinas atau kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
Selain itu, penunjukan jabatan kepala BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) juga, seperti usaha mengelola air minum dan pasar juga rentan berbau praktek suap. Effendi itu menjelaskan, banyak sekali indikator untuk melihat kentalnya aroma suap dalam penunjukan kepala dinas atau BUMD.
Diantaranya adalah, tingginya tingkat mutasi atau rotasi. “Hasil kajian kami, mutasi atau rotasi atau pencopotan itu karena yang bersangkutan tidak bisa melunasi tunggakan uang suap,” kata dia. Rata-rata, uang suap ini tidak dibayar sekaligus. Tetapi, dibayar dengan cara diangsur. Resiko bagi pejabat yang menyuap bisa diberhentikan seketika jika tidak bisa melunasi uang suap tadi.
Mantan kepala BKN itu lantas mengatakan, rata-rata di seluruh daerah tarif suap untuk meloloskan seseorang menjadi CPNS sekitar Rp 150 juta hingga Rp 200 juta. Sementara tarif yang dipatok untuk PNS yang ingin duduk sebagai kepala dinas atau kepala BUMD berkisar antara Rp 300 juta hingga Rp 400 juta. Tarif yang paling tinggi menurut Effendi adalah, ketika ada seseorang PNS yang ingin duduk sebagai sekertaris daerah (Sekda). “Bisa sampai Rp 700 juta,” katanya.
Lantas, kemanakah muara aliran uang kongkalikong atau suap tadi? Dengan mantab Effendi mengatakan bermuara ke kepala daerah. Baik itu gubernur, walikota, hingga bupati. Kalaupun yang akhirnya ditangkap polisi adalah seorang calo, ini merupakan eksekutor lapangan saja. Dia menyangkan upaya penegakan oleh kepolisian yang berhenti pada aktor lapangan saja.
Tudingan Effendi tertuju kepada para kepala daerah tadi karena, uang hasil suap itu digunakan untuk menambal biaya kampanye si kepala daerah. “Jika uang suap tadi lancar setiap tahun masuk ke kantongnya, dalam dua tahun ongkos kampanyenya sudah balik modal,” tukas Effendi.
Pria kelahiran Bangka 28 Februari 1945 itu mengatakan, proses penerimaan CPNS baru maupun rotasi atau mutasi kepala dinas dan BUMN menjadi layaknya mesin ATM kepala daerah. “Dengan bergulirnya agenda reformasi, seperti moratorium CPNS baru, salah satu mesin ATM mereka saat ini mati,” kata dia.
Effendi mengingatkan, kepala daerah sudah tidak perlu lagi mengeruk uang dalam proses penerimaan CPNS baru, maupun saat mengangkat kepala dinas atau kepala BUMD. Apalagi, saat ini menurut Effendi BPK dan PPATK sudah mulai menelusuri praktek suap tadi.
Effendi mengancam, jika praktek suap itu masih terjadi, tim reformasi birokrasi tidak akan memberikan jatah kuota CPNS daerah baru. Sementara itu, pengangkatan kepala dinas dan sekda, akan dilakukan komite khusus yang masih dirancang pembentukannya. Dasar pembentukan komite khusus ini adalah RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang masih digodok di DPR. Ref:wan/JPNN