Wah APBD Klaten Tersedot Untuk Menggaji PNS

By gladwin | July 14, 2011

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kabupaten Klaten, Agus Riyanto, meminta jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten ditekan guna mengantisipasi terjadinya kebangkrutan Pemkab Klaten pada 2-3 tahun mendatang.

Jumlah PNS di Kabupaten Klaten mencapai sekitar 16.200 orang. Keberadaan sekitar 16.200 PNS itu menyedot anggaran untuk belanja pegawai dalam APBD 2011 senilai Rp 962 miliar atau 70% dari total belanja 2011 yang mencapai Rp 1,3 triliun. Kabupaten Klaten merupakan satu dari 124 kabupaten/kota di Indonesia yang terancam bangkrut karena sudah menghabiskan lebih dari 60% APBD untuk belanja pegawai. Ini adalah hasil penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra).

“Perkembangan jumlah PNS dari tahun ke tahun harus bisa minus. Dengan kata lain, jumlah PNS yang pensiun harus lebih banyak daripada perekrutan PNS baru,” jelas Agus kepada Espos di Kantor DPRD Klaten, Rabu (13/7/2011).

Sementara itu berdasarkan data yang dihimpun Espos di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Klaten, jumlah PNS pensiun di Kabupaten Klaten hingga akhir 2011 mendatang mencapai 703 orang. Pemkab Klaten menerima kuota penerimaan CPNS dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) sebanyak 199 orang pada 2010. Dari data tersebut, sebenarnya jumlah PNS baru di Klaten jauh lebih sedikit daripada jumlah PNS yang pensiun. Akan tetapi, jumlah PNS yang mencapai sekitar 16.200 orang itu tetap terlalu banyak dan menyedot anggaran belanja pegawai hingga 70% dari APBD 2011.

Sebelum ini Pemkab Klaten menyatakan sudah berupaya mendesak pemerintah pusat agar meningkatkan dana alokasi umum (DAU). Tapi, langkah itu dinilai sulit direalisasikan. Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Klaten, Sartiyasto, mengatakan DAU dari pemerintah pusat ditentukan berdasar rumus dengan mempertimbangkan beberapa hal. Beberapa hal itu antara lain jumlah penduduk, jumlah warga miskin, jumlah pendapatan daerah dan beberapa faktor lainnya. ”Kami tidak mungkin memanipulasi data dengan harapan mendapat DAU lebih tinggi dari biasanya. Kriterianya sudah jelas. Sulit kiranya mendesak pemerintah pusat untuk menaikkan DAU,” ujar Sartiyasto. mkd-espos