Padi varietas asli Kalimantan Timur seperti Mayas dan Adan diminta untuk disertakan dalam program Food Estate dan pencetakan sawah baru oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dimulai 2012.
“Kaltim memiliki padi varietas lokal unggulan seperti Mayas yang dikembangkan di Kutai Kartanegara,” kata Profesor Riyanto PhD, Guru Besar Program Pascasarjana Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman dan anggota tim Percepatan Pembangunan Food Estate di Balikpapan, Rabu.
Apalagi, kata Riyanto, beras Mayas adalah jenis padi ladang sehingga tidak memerlukan sawah dan pengairan teknis.
Bahkan varietas ini juga tidak memerlukan pupuk dan pestisida karena tahan penyakit sehingga lebih murah biaya tanamnya. Menanam varietas lokal juga berarti memberdayakan masyarakat yang menanam varietas tersebut.
“Dan nilai ekonominya cukup baik,” kata Prof Riyanto.
Oleh sebab itu, ia berharap ada sebagian dari anggaran Rp9 triliun pencetakan sawah baru dan menanam padi di Kaltim oleh tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk pengembangan padi Mayas sebagai padi ladang tersebut.
Kementerian BUMN memerintahkan tiga BUMN yaitu PT Sanghyang Sri (SHS), PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), dan PT Pertani untuk mencetak 100.000 hektare sawah baru di Kalimantan Timur (Kaltim) pada 2012 ini.
“Bila berhasil, kami akan buka 200.000 hektare lagi,” kata Menteri BUMN Dahlan Iskan di Balikpapan pada 10 Januari 2012.
Program ini bertepatan juga dengan program food estate yang memiliki lokasi 300.000 hektare lahan di seluruh Kaltim. Seluruhnya ini untuk mencapai target stok beras 9 juta ton pada akhir masa pemerintahan SBY di 2014.
Padi Adan
Selain padi Mayas yang padi ladang, Kaltim juga memiliki padi Adan yang endemik di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan. Beras ini baru saja dipatenkan sebagai hak kekayaan plasma nutfah Indonesia setelah sebelumnya ada klaim Malaysia bahwa beras tersebut berasal dari Bario, Sarawak, Malaysia.
Beras Adan ditanam di antaranya oleh orang Lundayeh dan orang Iban di dataran tinggi Pegunungan Muller, pada titik 1.000 meter dari permukaan laut.
“Itu beras premium yang dikonsumsi sehari-hari oleh Sultan Brunei,” kata Prof Riyanto dalam beberapa kali kesempatan terpisah.
Di Brunei harganya per kg 7-8 BND (Brunei Dollar) atau setara Rp50 ribu dengan kurs tengah Rp7.400 per BND.
Sayangnya menurut Riyanto, orang Brunei mengenal beras itu sebagai beras Bario tadi.
Menurut Asbudi Salam, sarjana pertanian yang mengabdikan dirinya di Krayan, beras Adan dijual oleh petani ke Malaysia untuk mendapatkan harga yang lebih baik. Bila di pasar lokal Nunukan atau Malinau dihargai Rp12.000, para pedagang dari Sabah membelinya Rp15.000 per kg, hingga mencapai Rp50.000 sampai di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, negeri kecil kaya minyak yang dijepit Sabah dan Sarawak, Malaysia.
Asbudi mengatakan, beras Adan dibawa dari Krayan melalui jalur Long Midan, sebuah desa kecil yang berbatasan langsung dengan Sarawak.
Dari Long Midan beras Adan dibawa ke Ba Kelalan, dan jatuh ke tangan ketiga, para pedagang dari kota-kota di Sarawak seperti Lawas, Limban dan Miri, hingga akhirnya masuk ke Brunei Darussalam. Ref:RMT/A041/Antaranews